Jurnalkomunikasi.com – Terkadang orang-orang hanya melihat dari kacamata material. Dari apa yang nampak dan apa yang terlihat. Tapi kurang dapat memahami aspek lingkungan dan psikologis. Padahal transendensi adalah penyebab segala keruwetan dalam proses berpikir dan kondisi mental.
Mimpi adalah salah satu transendensi yang pasti dialami manusia. Semua orang pasti tidur, dan semua orang pasti bermimpi. Jika pun ada orang-orang yang sulit tidur, maka otak akan tetap menampilkan mimpi tersebut dalam bentuk delusi atau imajinasi. Kebanyakan mengarah pada delusi.
Treatment otak sangat dibutuhkan agar selalu dapat melihat perbedaan kenyataan dengan obsesi. Kreativitas tidak boleh terkungkung karena batasan-batasan yang disematkan oleh sistem.
Tidak ada yang tahu isi hati seseorang. Dan mimpi tidak selalu berkaitan dengan isi hati. Gender dan identitas bukan wilayah kajian lagi bagi mereka yang sudah mampu mengetahui siapa dirinya dan apa yang ia inginkan untuk tetap ada.
“Siapa Temanmu” dan “Seperti Apa Lingkunganmu” akan mempengaruhi topik pembicaraanmu. Sebuah website tidak selamanya harus berisi surat kaleng, sebab engkaulah developer dan engkaulah navigator.
Engkau bukan mannequin yang terikat pada pena sang pemilik media. Bukan pula Harlequin yang harus menerbitkan roman cinta terus. Namun, seseorang tidak akan jadi pecundang hanya karena merindukan seorang teman lama.
Katakan “i’m happy, it’s enough”, akan membuat lebih dapat bersyukur dengan apa yang dicapai dan dijalani. Transendensi terjadi karena keinginan untuk terus terikat pada pola yang sama. Adakah yang tahu hasil dari tiap pelarian itu apa? ” alah, alah, alah, alah.”
Kata tersebut bisa bermakna banyak, antara lain: kalah, Tuhan, sabar, perampasan.