Memori Fotografis (Bagian 1)

Memori Fotografis (Bagian 1)

Jurnalkomunikasi.com – Aku ingin bercerita tentang bagaimana sebuah ingatan terbentuk dan informasi diproses dalam otak. Aku sebetulnya bukan tipe orang yang senang menyerap banyak informasi lama-lama, kalau bisa justru memberikan formula yang sederhana.

Aku belajar secara simultan. Jadi berangsur-angsur dalam tempo waktu yang lama. Dan untuk mempresentasikan sesuatu, terkadang perlu mengingat-ingat dulu apa yang terjadi di masa lalu.

Ingatanku cukup baik dan kupikir kadang-kadang aku memperoleh kondisi memory fotografis yang juga cukup membantu. Ingatan fotografis rasanya menyenangkan, seperti ketika aku melihat bintang-bintang di atas Mahameru, dulu.

Aku memiliki ponsel pertamaku di umur 12 tahun. Dan itu adalah ponsel biasa yang tidak canggih. Dan hingga aku berumur 17 tahun, ponselku masih biasa-biasa saja. Dan bahkan sekarang aku memakai ponsel biasa juga.

Aku pernah hidup di fase di mana sulit lepas dari gadget, baik itu laptop maupun ponsel karena pekerjaanku yang sibuk. Tapi ada juga fase di mana aku sama sekali tidak bisa memakai ponselku karena percuma, tidak ada sinyal dan jaringan internet.

Ya, ini adalah fakta bahwa selama hampir dua tahun aku tinggal di dalam rimba hutan di negaraku. Dan di sini, komunikasi hanya bisa memakai Handy Talky. Jika ingin pakai ponsel, aku mesti naik bukit dulu dan itu jauh.

Ketika aku hidup tanpa ponsel selama berbulan-bulan itu, rasanya mentalku sangat bergejolak. Aku pun mulai menerima telepon-telepon nirkabel dari sana-sini, rasanya seperti mendengar siaran radio jadinya.

Untuk mencegah dari kerusakan mental karena kondisi sulit tanpa jaringan internet dan telpon ini, aku pun mulai banyak mendownload film-film di netflix dan YouTube agar bisa kutonton ulang saat pulang kerja.

Kondisi hidup tanpa jaringan internet membuatku agak berubah sikap. Seperti saat aku bepergian ke kota perasaan ini menjadi sunyi. Aku sunyi menatap dunia di luar, setelah hari-hari pengasinganku.

Aku terkadang memberontak dan merasa payah. Seperti ketika aku meminta presiden membangunkan jalan raya dan fasilitas infrastruktur termegah, hanya karena aku akan tinggal di tempat tersebut. Atau ketika aku meminta agar tersedia air bersih di suatu tempat, hanya karena aku berencana tinggal di sana.

Aku mengalami semacam “sindrom Queen”, ya perasaan superioritas dan waham kebesaran ini seakan-akan telah menjadi warisan dan aku tidak dapat menghindarinya. Walau aku tidak mau melihat dan mengalaminya lagi, itu seperti terjadi begitu saja di hadapanku.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *