Materialisme, Social Control, Foucault

Materialisme Polikrom: Diskursus Kontrol Sosial Foucault

Jurnalkomunikasi.com – Di dalam filsafat dan ilmu sosial, terminologi wacana disebut sebagai “Diskursus“. Pengertian singkatnya yaitu tentang kegiatan berbincang-bincang, berdiskusi, bertukar-pikir dan pada akhirnya menghasilkan rumusan pengertian yang sistematis dan dapat diterima.

Bagaikan polikrom, vitral atau kaca patri. Wacana tampil sebagai wadah komunikasi yang terkonstruk. Melalui warna, ukiran, pahatan, gambar dan bentuk yang sedemikian rupa dibuatnya. Agar mampu membiaskan cahaya warna-warni yang indah, serta dapat menjadi jalan bercerita.

Michel Foucault memandangnya sebagai sebuah sistem falsafah dan komunikasi yang memiliki kemampuan mengontrol melalui bahasa. Ada kekuatan di balik bahasa, ada kekuasaan di balik ilmu pengetahuan.

Di mana kekuasaan tersebut dapat dimobilisasi melalui permainan bahasa. Ia menggunakan metafora permainan kekuasaan (jeux de pouvoir), ketika bahasa dimainkan dan hubungan kekuasaan juga dimainkan (Mark Olssen, 2004).

Dari sini kita dapat melihat bahwa bahasa dapat menjadi alat legitimasi. Di mana praktik kekuasaannya akan memberikan ruang bagi adanya kontrol sosial.

Materialisme, Social Control, Foucault

Materialisme adalah cara pandang yang mengedepankan aspek materi (fisik). Ketika segala sesuatu, proses, fakta, realitas terjadi karena adanya substansi materi. Paham ini menolak hal-hal yang sifatnya non-materi seperti spirit (roh).

Wujud Filsafat Materialisme seperti sebuah polikrom. Elemen interior yang kerap hadir dalam bangunan-bangunan bersejarah. Tujuan dari pembuatan polikrom adalah untuk mengekspresikan tanda-tanda yang non-materi menjadi ke dalam materi. Menceritakan para roh, dalam seonggok lukisan dan relief dinding.

Ini definisi yang memang menganggap mustahil doktrin Materialisme untuk dijalankan secara utuh dalam segala lini kehidupan manusia. Apalagi saat harus membuat sebuah karya dan seni arsitektur. Di mana banyak seniman dan arsitek tidaklah “se-material” itu.

Begitu pun dengan manusia para penikmat elemen desainnya, tidak selalu memuji  benda-benda sebagaimana adanya benda itu. Sebuah jendela vitral dikagumi bukan hanya karena bentuk dan warnanya yang indah. Melainkan juga karena ada “cerita” di baliknya.

Artinya, sejauh peradaban manusia berjalan hingga saat ini, Materialisme sebagai paham yang mengedepankan kebendaan dan menolak proses yang adikodrati, belum ada yang murni terlepas dari aspek spiritual dan supranaturalnya.

Tetap ada peran interpretasi atau representasi melalui permainan bahasa. Seperti kaca patri yang dibuat di dalam sebuah gedung bersejarah, bukan untuk menghalangi cahaya atau membuat efek dramatis belaka. Namun juga untuk menjadi media bagi penyampaian pesan-pesan adikodrati.

Jendela vitral bukan lagi sebagai elemen dekoratif saja. Seperti dalam sejarah kemunculannya yang dipercaya mengandung keajaiban alam karena proses peleburan materialnya yang membuat sebuah kaca bisa menjadi berwarna, bertekstur atau bergambar.

Pada perjalanan fungsinya, teknik pembuatan kaca vitral telah menjadi satu pagelaran simbolik yang historis. Jendela kaca warna-warni dengan desain gambar tokoh-tokoh suci yang adikodrati maupun tokoh-tokoh politis yang memiliki pengikut setia.

Perkembangan teknologi pembuatan kaca patri dengan berbagai eksperimen penggunaan material logam dan mineral, justru mendorong semangat untuk menghadirkan khasanah bahasa melalui cerita-cerita penokohan. Di sinilah kita akan dapat melihat apa yang dimaksud sebagai Materialisme Polikrom.

Materialisme, Kontrol Sosial, Foucault

Foucault tentu tidak membuat metafora atau interpretasi demikian. Walaupun ia juga tertarik pada bagaimana permainan cahaya dalam bangunan Penjara Panopticon. Namun esensinya, sama-sama hendak menunjukkan ekspresi bahasa dan kuasa dari materi berupa sinar matahari dan desain interior dari sebuah bangunan arsitektur.

Melalui desain penjara Panopticon Jeremy Bentham, Foucault menemukan suatu skema permainan kekuasaan karena struktur bangunan penjara yang melingkar dan terpusat. Di mana para narapidana akan selalu merasa diawasi, walaupun mungkin saja para sipir tidak memperhatikan mereka dari menara pengawas.

Lantas, bagaimana dengan Materialisme Polikrom? Sebuah karya polikrom yang berwujud kaca patri ini bukanlah jenis permainan kekuasaan untuk melakukan “Surveillance”. Jadi tidak ada efek kontrol sosial yang tegas dan berat sekali sebagaimana menara panopticon dalam diskursus Foucault tentang penjara bundar Jeremy Bentham itu.

Jika melihat bagaimana kebiasaan-kebiasaan relief atau penampang polikrom yang ada di bangunan-bangunan bersejarah. Tujuannya adalah untuk ziarah pengetahuan belaka. Jadi untuk sebatas media penyampaian pesan-pesan mengenai cerita yang terkadang memang adikodrati, seperti ketika ada relief malaikat, nabi atau tokoh suci.

Kecuali saat kita juga mengaitkannya dengan praktik kekuasaan yang dilakukan institusi pemilik bangunan yang ada polikromnya ini. Maksudnya, jika saja mengaitkan relief kaca patri dengan legitimasi kekuasaan gereja pada jemaatnya, misalnya. Maka ini bisa disebut kontrol sosial pula atau mungkin normalisasi sebagaimana dalam benak Foucault.

Namun sejauh ini, arsitektur yang tumbuh di tempat peribadatan tidaklah selalu berkaitan dengan politik praktis institusi. Jadi cukup nikmati saja sebagai sebuah karya seni.

Kita dapat melihat relief polikrom Nabi Daud, Yunus, Daniel, Musa, dan Hosea di Katedral Augsburg, Bavaria, Jerman. Kaca patri di sini disebut sebagai yang tertua di dunia. Di samping itu, tentu dapat melihat sosok sakral lainnya, seperti Yesus Kristus dan Bunda Maria dalam kaca patri yang usianya lebih muda.

Polikrom sebagai media penyampaian bahasa adikodrati melalui kaca patri atau jendela vitral merupakan contoh dari bagaimana bahasa, pengetahuan dan kekuasaan saling bertautan. Paham Materialisme yang selama ini terkesan ateistik, tidak dapat hadir dalam wujud seni mengolah kaca hias warna-warni secara utuh.

Perayaan terhadap Filsafat Materialisme yang mengedepankan proses-proses kebendaan sebagai penentu realitas yang dianggap ada, tidak dapat menghentikan kuasa bahasa melalui representasi simbol-simbol mistik, supranatural dan suci.

Peleburan kaca dengan “mangan dioksida” untuk menghasilkan warna ungu. Percampuran antara material kaca dengan “debu emas” untuk menghasilkan warna merah dan biru. Atau ketika penggunaan “senyawa uranium” pun bisa menghasilkan warna kuning. Semua ini justru membuat kaca patri tumbuh sebagai media penyampaian dan penafsiran simbol-simbol non-materi yang kaya akan pengetahuan.

Materialisme Baru atau New Materialism tidak dapat melepaskan diri dari bahasa adikodrati. Hal ini terjadi karena manusia mampu bertindak secara a priori, yaitu meskipun tidak ada pengalaman berinteraksi dengan hal-hal yang sifatnya adikodrati, namun diam-diam tetap memiliki keimanan, pemikiran dan penafsiran tersendiri atasnya.

Teknologi pengolahan kaca polikrom akan selalu berjalan bersamaan dengan seni dan sejarah yang tumbuh dalam masyarakat modern. Relief supranatural dan non material akan selalu hadir dan direpresentasikan dalam tiap relik vitral.

 

Referensi: