Tirani Anarki dan Oligarki

Tirani, Anarki dan Oligarki

Jurnalkomunikasi.com – Mari bebaskan diri dari sebuah metafisika yang tersembunyi di balik kekuatan bahasa. Langkah ini dapat membantu untuk pengobatan, sebab “tirani” sesungguhnya adalah momok yang menakutkan.

Sebab dunia bukanlah polis, di mana seorang tiran menjadikan negara kota sebagai tempatnya untuk mempraktekkan kekuasaan. Sebuah polis di Athena, Yunani akan terlihat jauh lebih baik, oleh karena penduduknya yang masih memiliki “kepercayaan” pada sekelompok orang yang menjalankan kekuasaan tersebut.

Namun kini, dalam negara demokrasi modern, adakah sebuah negara yang kebijakannya berdasarkan sebuah isi buku?

Tirani Anarki dan Oligarki

Sekalipun ada, maka ia hanya akan berpedoman pada sejarah saja. Orang-orang akan menyebutnya sebagai “diktator”, sebab ia hanya mendikte. Dan masyarakat pun menjadi latah dalam unjuk rasa atau justru terperangkap dalam penjara kesadaran.

Sebuah kesadaran sebagai warganegara atau “citizenship” sangat dipengaruhi faktor lingkungan. Ketika lingkungan mendukung sebuah tirani berjalan, niscaya hal tersebut tidak akan menimbulkan kekacauan dalam beberapa jangka waktu ke depan. Namun sifatnya hanya sementara.

Saat tirani tersebut ditolak, maka yang terjadi adalah anarki. Kelompok anarki adalah mereka yang benci pada penindasan, namun tidak pula merasa perlu terhadap aturan-aturan.

Di tengah situasi kacau, tangan-tangan besi itu pun merambah ke dalam sel kesadaran. Merekalah oligarki yang lebih berbahaya dari sekadar tirani dan anarki, sebab mereka memiliki mandat untuk menjalankan kekuasaan tersebut, meskipun dijaga rapat agar tak meleleh ke mana-mana.

Fenomena mencairnya kekuasaan tersebut membuat pemerintahan jadi terbelah. Padahal menjalankan divided government tentu jauh lebih sulit daripada membangun negara kota. Pada akhirnya sebuah polis pun diserahkan kepada oligarki.

Jika itu polis asuransi, maka benefitnya akan terjadi di masa depan. Namun karena ini polis sebagai negara kota, semoga manfaatnya akan langsung terasa dan terbagi rata, bukan kepada penguasa, melainkan kepada warganegara.

Tidak ada satu pun model kekuasaan yang mampu memberikan ruang komunikasi yang layak bagi pemerintah dan warganegara. Namun apakah logika bernegara akan berhenti sampai sini saja? Jika pun tidak ada yang terbaik, bukankah yang bermanfaat itu sudah cukup?